Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi
Di beranda ini angin tak
kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang
menungu malam hari
Kau berkata: pergilah
sebelum malam tiba
Di piano bernyanyi baris
dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta
telah berangkat
Sebelum bait pertama.
Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana
lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi kita
semula
Bersiap kecewa, bersedih
tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi
dingin di luar jendela
Mengekalkan yang esok
mungkin tak ada
1966
Tentang Seorang yang Terbunuh di
Sekitar Hari Pemilihan Umum
“Tuhan, berikanlah
suara-Mu, kepadaku.”
Seperti jadi senyap salak
anjing ketika ronda menemukan
mayatnya di tepi
pemetang. Telungkup. Seperti mencari
harum dan hangat padi.
Tapi bau asing itu dan dingin pipinya
jadi aneh, di bawah
bulan. Dan kemudian mereka pun
berdatangan – senter,
suluh, dan kunang-kunang – tapi tak
seorangpun mengenalinya.
Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.
“Berikanlah suara-Mu.”
Di bawah petromaks
kelurahan mereka menemukan liang
luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda
meninggalkan bisik. Orang
ini tak berkartu, ia tak bernama.
Ia tak berpartai. Ia tak
bertanda gambar. Ia tak ada yang
menangisi, karena kita
tak bisa menangisi. Apa gerangan
agamanya?
“Juru peta yang Agung, di
manakah tanah airku?”
Lusa kemudian mereka
membacanya di koran kota, di
halaman pertama. Ada
seorang yang menangis entah mengapa.
Ada seorang yang tak menangis
entah mengapa. Ada seorang
anak yang letih dan
membikin topi dari koran pagi itu, yang
diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang
layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-
burung sore hinggap di
kawat-kawat, sementara bangau-
bangau menuju ujung
senja, melintasi lapangan yang gundul
dan warna yang panjang,
seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikanlah
suara-Mu, kepadaku.”
1971
Kwartin tentang Sebuah Poci
Pada keramik tanpa nama
itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol,
ternyata
untuk sesuatu yang tak
ada
apa yang berharga pada
tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya
abadi
1973
Penangkapan Sukra
Namaku Sukra, lahir di
Kartasura, 17..., di sebuah pagi
Selasa Manis, ketika
bulan telah berguling ke balik gunung.
Waktu itu, kata orang,
anjing-anjing hutan menyalak panjang,
tinggi dan seorang abdi
berkata, “Ada juga lolong srigala
ketika Kurawa
dilahirkan.”
Bapakku, bangsawan
perkasa itu, jadi pucat.
Ia seolah menyaksikan
bayang-bayang semua pohon berangkat
Pergi, tak akan kembali.
Pada umurku yang ke-21,
aku ditangkap.
Debu kembali ke tanah
Jejak sembunyi ke tanah
Sukra diseret ke sana
Seluruh Kartasura tak
bersuara
Sang bapak menangis
kepada angin
Perempuan kepada cermin
“Raden, raden yang bagus,
Pelupukku akan hangus!”
Apa soalnya? Kenapa aku
mereka tangkap tiba-tiba?
Para prajurit itu diam,
ketika mataku mereka tutup.
Kuda-kuda bergerak. Aku
coba rasakan arah dan jarak. Tentu
saja tak berguna.
Pusaran amat panjang, dan
tebakan-tebakan amat
sengit, dalam perjalanan
itu.
Sampai akhirnya iringan
berhenti.
Tempat itu sepi.
“Katakanlah, ki sanak, di
manakah ini.”
“Diamlah Raden, tuan
sebentar lagi
akan mengetahunya
sendiri.”
Ada ruang yang tak
kulihat
Ada gema meregang di
ruang yang tak kulihat.
Kemudian mataku mereka
buka. Lalu kulihat pertama kali
gelap sehabis senja.
Aku pun tahu, setelah itu
tentang nasibku. Malam
itu Pangeran, Putra Mahkota telah
menghunus kehendaknya.
Siapakah yang berkhianat
Kelam atau kesumat?
Kenapa nasib tujuh
sembilu
Menghadang anak itu
“Tahukah kau, Sukra,
kenapa kau kuperintah dibawa kemari?”
(Suara-suara senjata
berdetak di lantai)
“Tidak, Gusti.”
“Kausangka kau
pemberani?”
Aku tak berani. Mata
putra mahkota itu tak begitu nampak,
tapi dari pipinya yang
tembem kurasakan geram saling mengetam,
mengirim getarnya lewat
bayang-bayang.
Suara itu juga seperti
bayang-bayang.
Kau menantangku.”
Kuku kuda terdengar
bergeser pada batu.
“Kau menghinaku, kaupamerkan
kerupawananmu, kauremehkan
aku, kau pikat
perempuan-perempuanku, kaucemarkan
kerajaanku. Jawablah,
Sukra.”
Malam hanya dingin
Berbayang-bayang lembing
“Hamba tidak tahu,
Gusti.”
Bulan lumpuh ke bumi
Sebelum parak pagi
“Pukuli dia, di sini!”
Duh, dusta yang merah
Kau ingin cicipi asin
darah
“Masukkan semut ke dalam
matanya!”
Seluruh Kartasura tak
bersuara
1979
Zagreb
Ibu itu datang, membawa
sebuah bungkusan, datang jauh
dari Zagreb. Ibu itu
datang, membawa bungkusan, berisi
sepotong kepala, dan
berkata kepada petugas imigrasi yang
memeriksanya: “ini
anakku.”
Suaranya tertoreh
di beranda kantor tapal
batas.
Orang-orang menoleh.
Cahaya cemas.
Jam di atas meja itu
seakan-akan menunjuk
bahwa senja, juga senja,
tak akan bisa lagi meninggalkan
mereka.
Lalu ibu itu pun
mendekat, dan ia perlihatkan
isi bungkusannya, dan ia
bercerita:
“Tujuh tentara
menyeretnya dari ranjang rumah sakit, tujuh
tentara membawanya ke
tepi hutan dan menyembelihnya,
tujuh musuh yang membunuh
sebuah kepala yang terguling
dan menggelepar-gelepar
dan baru berhenti, diam, setelah
mulutnya yang berdarah
itu menggigit segenggam pasir di sela rerumputan.”
“Kesakitan itu kini
terbungkus di sini, dalam sisa kain kafan.
Umurnya baru 21 tahun.
Lihat wajahnya. Anak yang rupawan.”
Pohon-pohon platan yang
terpangkas, berkerumun
seperti patung-patung
purba, bertahun-tahun
lamanya, di pelataran.
Gelap mulai diam,
mulai seragam
dan di kejauhan ada
sebuah kota, kelihatannya: kaligrafi cahaya,
coretan-coretan api pada
ufuk,
isyarat dalam abjad,
kata-kata buruk.
Tak ada yang membikin
kita bebas rasanya.
Opsir itu pun terduduk,
memimpikan anak-anak, oknum yang
bercerita tentang cheri
pertama yang jatuh ke pundak.
Mereka tak ada lagi,
bisiknya, tak ada lagi.
Hanya seakan ada yang
meneriakan tuhan, lewat lubang angin
di tembok kiri, ke dalam
deru hujan, menyeruakkan ajal,
memekikkan ajal, dan
desaunya seperti sebuah sembah
yang tak jelas,
nyeri, sebuah doa dalam
bekas.
Apa yang ingin kita
lakukan setelah ini?
Ibu itu: ia membungkus
kembali kepala yang dibawanya,
dari Zagreb, dan
melangkah ke jalan.
Orang-orang tak
menawarkan diri untuk mengantarkan.
Di sana, di akanan
kejauhan, arah raib, zuhrah raib.
Bintang barangkali hanya
puing, dan timur, di manapun
timur,
hancur.
Tapi barangkali ia tahu
apa nama kota berikutnya.
1994
Firman Ke-12
Aku tak tahu apa yang
disebut dalam firman ke-12.
“Mungkin tentang angin
dan muara,” katamu.
Kudengar suaramu.
Aku bayangkan garam yang
dikais dari ombak,
dan ombak yang di pantai
dipatahkan.
Aku bayangkan biduk yang
mencari tempat. Mendapat, tak
Mendapat.
Aku tak tahu apa yang
disebut dalam firman ke-12.
“Mungkin sebuah amsal
yang singkat, tentang
Perjalanan yang kekal,
jauh, di atas akhir yang sederhana.”
Dan seseorang akan
berangkat, aku tahu tak akan lama.
Barangkali bintang jadi
tajam
di dini hari
Aku bayangkan waktu
terseret sungai.
2002-2003
Sang Minotaur
pada sebuah sketsa Picasso
Di ranjang itu sang
Minotaur datang, dan mengendus
tubuhmu, bulu tubuhmu,
yang kian panas,
yang melepas
aroma adas.
Parasmu ranum
seperti biji gandum
di ladang penghabisan.
Dan lenguh yang
mengguncang kelambu
membujukmu: kau goyangkan
susumu
ke arah seram dan seluruh
bau asam,
tatkala hasrat
menjulurkan lidah
yang merah
ke syahwat
yang membasah.
Setelah itu, siuman. Dan
kematian
di arena di mana lembu
jantan
mengais-ngaiskan kaki
di mana detik seperti
gugur dari karat matahari,
di plasa tempat nasib
menarik picu
pada rembang petang
Sabtu.
Kemudian kamar jadi
terang.
Dan dari ranjang itu sang
Minotaur menghilang.
Jam pun memasuki tanah.
Hanya maut luput,
dari lezat
yang lewat
di pusarmu
di pantatmu
yang tak akan musnah.
1996
Piknik
Untuk pikniknya yang
terakhir Tiar menyiapkan telur dadar
dan sejumput merica. Ia
bangun pagi sekali. Di tempat mandi dipandangnya sumur: sebuah liang hijau,
seperti lorong hutan
yang memanggil. Ia tahu
ia tak hendak pergi.
“Tapi aku mesti pergi,”
bisiknya sambil menerjunkan timba.
Air terkoyak. Lorong itu
mengembalikan bunyi.
35 tahun yang lalu untuk
pikniknya yang pertama ia ingat
ia memilih topi katun
putih. Si upik mengenakan gaun ros,
dan mengikuti anak-anak
yang menari di tepi danau
dengan lagu angan-angan.
Ibunya menyiapkan tikar,
menggumamkan sesuatu. Ia
seperti dengar suara saluang.
Setelah itu mungkin 20
tahun menyela mereka, memisahkan,
sampai mereka bersua di
kereta ke Solo. Mereka tak saling menyapa.
Ia pura-pura melihat ke
luar gerbong: sederetan pokok dadap,
kembang merah yang ranum,
sisa tanggul yang runtuh.
“Kau masih sendiri?” ia bayangkan
ia bertanya.
Tapi si upik yang tak
ditatapnya akan selalu memandang ke depan,
dan dari ruang masinis
seperti ia dengar seseorang berkata,
“Tak ada lagi.”
Pada pikniknya yang
terakhir Tiar tahu apa artinya “tak ada lagi.”
2006
Ia
Menangis
untuk leleki
di atas kuda kurus yang
akhirnya sampai pada
teluk
di mana fantasi adalah
hijau
hujan
yang hilang ujung
di laut asing.
Ia menangis,
dan lelaki itu
mendengarnya.
“Aku Don Quixote de la
Mancha
majenun yang mencarimu.”
Tubuhnya agak tinggi,
tapi
rapuh dan tua sebenarnya.
Ia berdiri kaku.
Cinta tampak telah
menyihirnya
jadi kesatria yang luka
di lambung.
Tapi ia menanti perempuan
itu
melambai
dalam interval gerimis
sebelum jalan ditutup
dan mereka mengirim
polisi,
tanda waktu,
kematian
2007
30 Menit
sebelum
sayid hamid
30 menit sebelum Sayid
Hamid Benengeli
menghentikan hikayatnya,
Don Quixote telah merasa
sesuatu tengah terjadi.
Senja mencegatnya di
jalan turun ke utara, setelah
San Cristobal. Duduk
gontai di punggung Rocinante, ia
melihat ke langit,
mencari arah. Tapi bintang tampak
kembung, bimasakti keruh,
dan di belakangnya, tak
ada lagi rasi salib
selatan.
Dataran kering di bawah
itu seakan-akan negeri yang
tak pernah memanggilnya.
Ia merasa letih
sebenarnya, setelah Sierra Morena.
Ia berbisik, seperti
berdoa: “Jika aku boleh memilih,
Sayid, aku tak ingin di
sini lagi.”
Tapi malam adalah monolog
pohon-pohon. Bahkan
di tebing Guadalen yang
hitam, suara arus ikut
mengambil alih
percakapan.
Barangkali kita hanya
sebuah
parodi, ia ingin berkata
lagi,
tapi ia tak yakin kepada
siapa.
Sancho, teman yang setia
itu,
hanya memandangi gerak
sungai. Ia mungkin telah
merasa, hari tak akan
lagi
berani sia-sia: Dulcinea
adalah
cinta yang gagu, tuanku,
imajinasi adalah kabut
pagi.
Dan selebihnya sunyi.
Don Quixote mengerti.
Pada saat itulah Sayid Hamid
Benengeli mulai membuat
tanda terakhir dengan
dawat di kertasnya,
seperti sebuah titik, seperti
melankoli. Meskipun yang
ingin ditulisnya sederet
epilog yang berbahagia:
“Dan Don Quixote pun
melihat, pahlawan
terakhir itu telah merenggutkan
jantungnya.”
“Ya, di jurang gua.”
2007
Skhak
Pada pukul 16:00, di
bawah jembatan itu ia dengar “skhak.”
Seperti bunyi waktu.
Seorang pemain catur
selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.
Dan seekor kuda rubuh.
Dan bidak lari ke sudut.
Tak ada yang akan
mengatakan raja akan tumbang pada
langkah ke-20. Sore dan
debu bertaut. Ia bayangkan sebuah
perang dalam asap. Di
bawah langit diam, di petak terdepan,
ada selembar bendera
dengan huruf yang hampir tak terbaca:
“Akulah pion yang gugur
pertama.”
Tapi tak seorang pun tahu
kenapa prajurit itu – ia tak
berwajah – berdiri di
sana, siap dalam parit, meskipun merasa
bodoh dengan mantelnya
yang berat. Di seragamnya tak
tertulis nama. Hari
tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya
api di unggun kecil.
Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau
busuk pada koreng. Tapi
ia berharap.
“Jangan serahkan kami,
Maestro, kepada nasib. “ Siapa orang
yang bergumam, siapa yang
berdoa? Para uskup berdiri di
petak kanan, di antara
kesatria dan kavaleri, putih, hitam,
sebuah deretan kerap
sepanjang meja. Jam berdetak-detak
seperti suara tongkat
orang buta yang tabah. Ster. Skhak.
“Jangan serahkan kami
pada nasib.”
Tapi tiga pion lagi
rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa
dari pojok. Musuh
menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan
yang datar itu, hanya ada
derap bergegas dan terompet
infantri. Parit-parit
dikosongkan. Roda-roda kanon didorong.
“Dengarkan suaraku,
dengarkan suaraku, komandan peleton!”
Barangkali asap adalah
setanggi, Maestro. Barangkali sudah
datang saat berkabung.
Akan selalu ada ratu yang dikabarkan
tertawan, dan
bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang
berpikir: jangan-jangan
perang tak mesti berhenti.
Pada batang rokok yang
kedua seseorang tertawa: kita akan
pergi, Bung. Tapi di meja
itu, di papan itu, pergi serasa
menakutkan. Selalu ada
sebuah fantasi tentang menang dan
mengerti, sampai punah
bidak di dataran pertama dan kau
dengar “skhak.”
Ia tak tahu apa yang
harus diingat dari kata itu.
2010
Tentang Penyair:
Goenawan Mohamad atau GM
lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah pada 29 Juli 1941. Ia adalah penerus
tradisi puisi lirik yang dirintis Amir Hamzah (1930an). Tapi puisi lirik GM
menjadi semacam “cetak biru” bagi perpuisian Indonesia di kemudian hari.
Puisi-puisinya adalah paduan yang sulit terpisahkan antara hasrat bernyanyi dan
berpikir sekligus. Di samping musikalitasnya yang amat menonjol, puisi-puisi GM
juga sarat oleh percikan ilsaat, dan soal-soal lain dalam kehidupan sehari-hari
kita. Dalam terminologi Heidegger ia adalah “penyair selaku pemikir”, atau
sebaliknya.
Buku-buku eseinya:
Kumpulan esei Catatan Pinggir, Potret Seorang Penyair Sebagai si Malin
Kundang (1972), Seks, Sastra dan Kita
(1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993),
Ekstosopi (2002), Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai
(2007).
Buku-buku puisinya: Manifestasi (bersama 7 penyair lain;
1963), Parikesit (1973), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan
Kita di Sarajevo (1998), Sajak-sajak
Lengkap 1961-2001 (2001), Selected
Poems (Indonesia-Inggris; 2004), Tujuhpuluh
Puisi dan Don Quixote.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar