26.1.08

Saudaraku Kapok Jadi Petani

"Kapok aku jadi petani" begitulah saudaraku mengeluh.


Sudah jadi berita di mana-mana kalau nasib kebanyakan petani desa di Indonesia menderita. Beraneka kesulitan menimpa mereka selama ini dengan penyelesaian yang tak jelas hasilnya. Dan kemarin saya mendengar keluhan yang makin menegaskan kondisi itu. Kondisi masyarakat kecil yang tak banyak daya.


Bayangkan saja, dengan uang modal untuk menanam bawang sebesar tiga juta rupiah kembali cuma seratus lima puluh ribu rupiah. Saya tak bisa komentar apa-apa mendengar keluhannya. Yang jelas hal ini membuat saya maklum kenapa sekarang anak-anak muda lebih senang menganggur atau merantau ke Jakarta meski dengan hasil yang sekedar cukup buat beli baju bagus untuk gagah-gagahan. Sungguh potret tentang keterpaksaan dalam hidup .


Saudaraku yang satu ini setiap pagi bekerja sebagai guru bantu di salah satu sekolah dasar di desanya di wilayah kabupaten Brebes. Siang tidur, sore ke sawah dan malam nonton sinetron. Pendidikan terakhirnya D II, usia 26, belum menikah dan berkesan selalu gelisah. Saya memaklumi pernyataannya dan kegelisahannya mengingat kenyataan semacam ini begitu lazim di masyarakat kita akhir-akhir ini. Anak muda bahkan orang tua melarutkan diri dalam rutinitas tanpa keseriusan bahkan kesadaran.


Kembali ke awal bahwa dia kapok jadi petani, pasti tak serius bahkan mungkin tak sadar betul ketika mengatakannya. Tapi yang benar-benar menjadi perhatian adalah bahwa pada dirinya tampak begitu jelas menjadi gambaran masyarakat desa saat ini. Tentang tak sepadannya hasil dari pengorbanan, kepasrahan yang cenderung pada keputusasaan, ketergantungan pada sesuatu yang tak diyakini dan angan-angan yang berisi uang dan kemewahan.


Hidup masih akan terus berjalan dengan segala kemungkinannya. Saudaraku ini -sama seperti kebanyakan anak muda- kesulitan ketika diajak bicara tentang kemungkinan-kemungkinan. Kenyataan hidup harian sepertinya terus membunuh imajinasinya untuk sekedar berangan-angan. Cita-cita kalau pun ada sekedar ingin punya uang sebanyak-banyaknya.


Aku telah banyak berbicara dengannya dan sepertinya dia tak terlalu hormat padaku. Aku yang penuh oleh harapan dan cita-cita ini memang tak banyak uang.


Tidak ada komentar: