11.6.08

Pada Hujan Itu

Pekatnya langit tak mempengaruhi keceriaan di wajah mereka. Si lelaki tampak membolak-balik dan menerawang uang pecahan lima puluh ribu, si perempuan tersenyum lebar memperhatikan sembari merangkuli kedua anaknya yang tak bisa diam. Di depan mereka tiga nasi bungkus tergelar dengan lauk yang sepertinya enak.

Dua anak kecil yang berkulit gelap dengan setelan baju kumal itu tak henti mencomoti makanan yang terhidang. Tangan dan mukanya belepotan oleh nasi bahkan sampai ke baju ibunya yang dekil pula. Uang di tangan lelaki pemulung itu entah berapa jumlahnya, yang jelas beramplop dan sepertinya sangat banyak.

Terlihat binar matanya dipenuhi oleh rencana. Penampilan mereka yang kucel menjadi tak berarti dalam kesenangan yang menyuasana.

Gerimis menitik perlahan, langit yang semakin pekat terus bergemuruh. Mereka cepat-cepat bangkit dan bergegas meninggalkan tempat menyenangkan itu di bantaran kali. Si lelaki menarik gerobak yang perempuan mendorong yang anak-anak berlarian menadahi turunya air yang kian deras. Berlari-lari kecil mereka menuju ke arah jalan raya.

Dua anaknya dinaikan ke gerobak mereka melaju dan berhenti di halte yang sepi. Suasana senang masih terus mengikuti mereka.

Seratus meter dari tempat mereka berteduh seorang anak muda berusaha menenangkan ibunya yang tak mampu berhenti menangis. Kejadian di ruang tunggu sebuah Rumah Sakit itu begitu menarik perhatian orang-orang yang ada di sana. Hujan turun kian deras.

“Duitnya tiga juta atau berapa…jatuh waktu mau ke sini. Dikantongi anaknya!”

Tidak ada komentar: