28.7.08

NUR HIDAYATI

Kokok ayam jago memalingkan wajahku pada weker yang menggeletak di atas bantal. Masih lumayan lama sampai ke Subuh. Sekarang hari Senin, hari yang selalu membangunkanku lebih awal dari hari-hari lainnya. Selain hari Kamis! Dan ini untuk kebeberapakalinya-sungguh ini sesuatu yang baru-aku bangun pukul tiga pagi. Untuk sholat malam kemudian makan sahur, atau langsung makan kemudian sahur eh, sholat Tahajud.
Dan setelah melewati awal yang menggairahkan, sepertinya kini mulai ada yang mengganggu pikiranku. Berkali-kali muncul aneka pertanyaan rumit dan gejolak rasa gamang yang entah bagaimana proses datangnya. Sesuatu yang kini menjadi bagian dari hidupku terasa sebagai beban dan ragu-ragu untuk terus melangkah sepertinya telah menjadi syair untuk dendang irama detak jantungku.
  "Tuhanmu tahu pasti tentang sesuatu yang tersembunyi di dalam hatimu. Jangan kau anggap Tuhanmu seperti orang kebanyakan yang bisa kau bohongi dengan aneka tipu muslihat. Sudahlah srigala, lepas baju domba itu."
  Sungguh aku tak bias lupa dengan yang pernah aku katakana dulu pada Iyung. Aku bahkan harus menghitungnya, berapa menit sekali memori itu muncul disertai potret wajah temanku itu yang entah dimana sekarang. Astaghfirulloh.
  Iyung yang waktu itu tak mampu menyembunyikan rasa kasmaranya pada Ati begitu menarik perhatian kami cowok-cowok jomblo kampus. Penampilannya yang biasanya lecek bahkan urakan, saat itu tiba-tiba drastis berubah rapi jali. Bahkan si Hafiz sampai harus menyediakan buku catatan khusus untuk mengetahui dengan pasti berapa detik sekali Iyung menyisir rambutnya. Suara lantangnya di ruang kuliah tak terlalu aneh bagi rekan-rekan seperjuangan, tapi iqomat-nya di masjid kampus jelas membuat areal kampus jadi ajang balapan nggosip.
  Dan tentang sepakterjang Iyung sudah lama berlalu, tapi aku tak bias lupa dengan yang pernah aku ucapkan dulu padanya. Karena sepertinya sekarang aku menanggung tulahnya. Ampun beribu ampun. 
ooo0ooo
 
Ati, begitulah anak-anak di kampus memanggilnya. Nama lengkapnya Nur Hidayati, dua tingkat di bawah kami, tapi entahlah...begitu fenomenal dia. Di tahun pertamanya mengisi taman kampus, bunga satu ini begitu memesona. Dan pesonanya itu dalam kurun waktu yang tidak lama telah memakan banyak korban. Tak terkecuali kita yang berlabel senior. Salah satu korbanya yang bernasib teragis adalah si Iyung, anak teater, yang gairahnya pernah meletup-letup,  tapi kini cuma menyisakan gulungan waktu yang gelap. Maafkan aku teman.
  Terus mencoba mengingat masa lalu, sepertinya semenjak pertama kali aku melihatnya ada sesuatu yang berlangsung di dalam diriku. Waktu masa-masa pendaftaran mahasiswa baru, pertama dia datang ke kampus bisa jadi. Tapi aku tak yakin.
  Kini aku sering menimbang-nimbang bahkan sampai harus merumus-rumuskan; dalam pikiranku benarkah ini yang disebut wanita cantik? Ada-ada saja memang. Dengan jilbab dan baju panjang terusan yang tak modis-sok tau-tentu kalah trendy dibanding cewek-cewek yang berkaus ngatung dan bercelana ketat. Tapi mungkin tak perlu rumus-rumusan untuk soal ketertarikan pada sesuatu terutama pada lawan kelamin...hihi. Tak selalu perlu alasan logis untuk sesuatu yang terjadi di dunia ini.
"Ampun pemerintah!"
"Kenapa lo, Jul?"
"Aku sih penginya pacaran dulu, eh, disuruhnya aku menemui bapaknya langsung. Ampun…ampun pemerintah!" Begitulah si Jul-anak Medan-kelimpungan pada suatu hari.
  Jul, Iyung, Munir, Hafiz, Cecep, mereka tak hanya jadi bahan cerita, tapi juga bercerita padaku tentang apa yang dialaminya berkaitan dengan Nur Hidayati. Sialan bener waktu itu, karena setengah mati aku nahan cemburu.
  Setiap mendengar keluh kesah mereka selalu terpikir olehku apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Seorang gadis berjilbab dengan wajah yang menurutku “cantik apa enggak, sih?”, dengan wajah yang cenderung menunduk dan tak lincah apalagi banyak bicara, sungguh tak istimewa. Tapi…
  "Baca buku apa, Kak?"
Dia mengagetkanku yang sedang duduk sendiri membaca buku. Aku yang kaget langsung menunjukan sampul buku di tanganku.Baru kemudian tersenyum.
  "Punya banyak buku, ya? Pinjem, dong," selorohnya sembari tersenyum.
  Ampun deh, Jul. Kenapa ada hal tiba-tiba begini? Bukan cuma dia yang pernah mengagetkanku dan meminjam buku dariku yang sering disebut tengkulak buku karena gemar memborong buku, tapi sumpah sampai dipapah siapapun pasti bingung dalam suasana seperti ini. Macam di pergoki hantu saja. Dan memang dia menghantuiku selama ini.
  Aku yang cuma cengengas-cengenges langsung ditinggali ucapan, "Udah, Kak. Saya ada kelas. Assalamu'alaikum." Plas...
  Aku berusaha tak menganggap peristiwa itu, sampai kemudian di lain waktu. Saat itu aku lagi membolak-balik brosur pameran buku.
  "Udah ke pameran buku, Kak?" tanyanya begitu saja. Kali ini aku tak kaget karena mengetahui kedatanganya. Cleguk, cleguk.
  "Udah, kemaren malem. Belum ramai. Baru pembukaan," kujawab sembari memperhatikan roman mukanya.
  "Besok hari minggu sih penginnya  kesana lagi."
  "Sama siapa, Kak?" tanyanya cepat.
  "Sendirian." Sepertinya sekarang jantungku sedang melompat-lompat.
  "Saya juga pengin ke sana, tapi nggak ada temen." Jul...Cep...kalian lagi di mana?
  "Besok berangkat dari mana, Kak?" sungguh aku tak yakin dengan kejadian ini.
“Mau ikut apa?”
"Ketemuan di mana, dong?" Hah?!
  "Emang kamu tinggal di daerah mana?" Demi Alloh kakiku nggak nyentuh tanah.
  "Jalan Haji Soleh. Yang di samping pasar Kunir situ. Tau, kan?" Sungguh aku tak mampu memahami ekspresinya. "Masuk aja sampai ujung. Nanti ada Sekolah Taman Kanak-kanak Insan Kamil, tanya aja rumah bapak Wahidi, semua pasti kenal." Tak tahu harus berkata apa aku  memperhatikanya. "Atau saya besok ke kampus saja? Berangkat dari kampus."
  "Ya…terserah." Lho?
  "Kalau begitu saya pulang dulu, Kak. Assalamu'alaikum."
  Dan esoknya aku pergi sendiri karena dia tak datang. Dan esoknya lagi  dia minta maaf dengan alasan sakit. Dan sejak saat itu hidup seperti makin aneh.
 
ooo0ooo
 
Aku yang tumbuh di masyarakat kampung tentu tak aneh dengan Al Qur'an. Mengaji sudah jadi kebiasaanku semenjak belum mengenal sekolah. Tapi tinggal di kota besar dengan segudang aktifitas membuatku lupa menyimak kitab panduan hidup itu. Sampai akhirnya Nur Hidayati seperti menggiringku ke masa lalu.
  Tak ada pacaran, bahkan sekedar kedekatan di antara kami. Aku acuh tak acuh saja dan merespon sekedarnya tatkala dia menyapa. Tapi perasaan ini tak mampu ku ingkari, betapa menghanyutkan.
  Sholatku yang sering terlewat, kini berubah disiplin untuk berjamaah. Buku-buku agama menjadi menarik setelah sekian lama teori-teori aneh menghabiskan waktu-waktuku. Semuanya mengalir bersamaan dengan beriring-iringnya segala peristiwa yang berkait dengannya, Ati Nur Hidayati.
  Ya, Alloh. Apakah sholatku dan semua perubahan ini hanya karena perempuan itu? Sungguh aku telah syirik pada-Mu. Ataukah perempuan ini adalah tangan-Mu yang sedang menempatkanku pada jalan yang Engkau ridloi?
  Tatitutitatitut…tatitutitatitut…
  "Hallo…ada apa Gus? tumben pagi-pagi buta udah bangun. Atau baru mau tidur?"
Si Agus entah di mana kini, sepertinya sedang gundah gulana. Katanya dia tadi sore menelepon Ati untuk memberikan dirinya  sebagai kado ulang tahun, tapi di tolaknya.
  Ya, Alloh…tempatkanlah aku di tempat terbaik yang engkau berkahi.[]
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar: