Pukul 23:32
Entah apa yang sedang terjadi,
listrik padam sejak menjelang Isya hingga kini belum juga menyala. Apakah ada
kebakaran lagi seperti pada malam lebaran lalu, sebuah bengkel di jalan raya sana
entah apa sebabnya terbakar hebat hingga menyisakan abu hitam. Untung masih ada
pekarangan, kalau kampung kami sudah seperti kampung di kota-kota mungkin api
sudah menerror rumah kami. Atau ada hujan lebat disertai angin kencang yang
menumbangkan pohon besar dan memutus kabel listrik? Apa saja mungkin terjadi,
yang membuatku kini seperti sedang dikarantina.
Memang ada hujan, di sini, sejak sore
sebelum Asar tadi, tapi hujan kecil yang putus nyambung tanpa gairah.
Sepertiku, tanpa gairah karena baterai ponsel habis dan lilin tinggal setengah
batang padahal mata rasanya belum mau menyerah.
Ibu sudah dua kali mengigau dan dua
kali kubangunkan. Adikku anteng di kamarnya, mungkin juga sudah lelap karena hampir
dua jam tak terdengar suara apapun selain detak jarum jam di dinding. Biasanya
sampai lewat tengah malam masih terdengar suaranya yang ternyata bukan aku saja, ibu juga mengaku suka jengkel mendengar
anak gadisnya cekikikan tengah malam. Semoga tak pernah ada tetangga yang
menyangka suara kuntilanak.
Di luar rumah hujan nadanya naik
turun. Dua kali bolak-balik keluar rumah kini ada dorongan melihat lagi
kegelapan yang misterius itu. Ada harapan seseorang datang atau sekedar lewat
agar aku tidak merasa sedang berada di dalam gua, tapi gerimis ternyata membuat
tetangga lebih memilih tidur daripada keluar rumah untuk sekedar berdehem.
Di dalam rumah tak ada yang bisa kulakukan
selain membolak-balik selembar henpon yang tak bisa menyala. Gulang-guling di
tikar yang kugelar di ruang tamu, pindah ke ruang tengah mengamati lilin yang makin gemuk pendek beralas pisin di atas
tabung televisi, membuka tutup kaleng biskuit yang isinya tinggal remah-remah, lalu
balik badan untuk kembali ke tikar dan gulang-guling. Ngantuk datanglah.
Sudah biasa aku terjaga hingga tengah
malam di perantauan, tapi tidak seorang diri apalagi tanpa henpon seperti saat
ini. Berdiam di rumah sejak pertengahan bulam puasa, dengan onlain aku tak
pernah merasa sendiri. Apalagi suasana kampung biasanya tidak sepi. Sering
lewat tengah malam masih ada suara sepeda motor dimain-mainkan gasnya di jalan
besar sana yang jaraknya limapuluh meteran dari rumahku. Atau di gang depan rumah segerombol anak baru gede
sering bolak-balik juga satu dua mobil menderu entah milik siapa. Malam ini sunyi senyap dalam gelap.
Jarak teras rumahku dengan gang
mungkin ada sekitar limabelas meter, hingga sering pada siang hari ibuku yang
tua tidak mengenali seseorang yang menyapanya. Apalagi halaman rumahku
lumayan rimbun dengan dua pohon mangga dan tiga pohon melinjo di sana. Ada juga
pohon papaya setinggi satu setengah meter, tiga rumpun sereh dan satu pohon
kemboja yang membuat halaman rumah kami pernah ada yang bilang seperti kuburan.
Dan malam ini aku setuju dengan pendapat itu.
Tanpa rerimbunan itu pun dengan gelap
seperti malam ini dari teras aku tak mampu melihat andai ada orang di pintu
halaman rumah. Bahkan jika dua langkah di depanku ada seseorang mengendap ke
arahku rasanya tetap tak terlihat. Berdiri di teras rumah dua kali melihat ke
arah depan yang tampak cuma warna hitam. Mencoba menajamkan pandangan hasilnya
tetap sia-sia. Yang ada justru membayangkan ada dua orang yang baru dikeluarkan dari penjara membawa
senjata tajam tengah bersiap meringkusku..
Kira-kira sudah empat tahunan ibu tak pernah cerita ada
tindak kejahatan di desa kami, tapi membaca berita aksi kambuhan mereka yang
baru dikeluarkan dari penjara di musim Corona ini jadi waswas juga. Di desa kami
pernah ada beberapa orang yang perangainya meresahkan, tapi entah di mana
mereka sekarang, lebih dari tiga tahun jarang pulang ke rumah pengetahuanku
tentang desakku hanya seputar ibu dan adikku. Mungkin mereka dipenjara dan
sekarang sudah dibebaskan.
Glondang! Bruakkk!
Sialan. Suara apa itu? Kutahan nafas,
lalu ketika harus mengeluarkannya kucoba dengan sangat perlahan. Mengira-ngira
dari mana asal suara itu, aku menduganya dari arah dapur. Hmmm…
Berdiri tegang menghadap lilin yang
tetap tenang, kukonsentrasikan pikiranku yang kacau dan kupasang telinga dan
tak ada suara lanjutan. Adikku tetap tanpa suara dan ibu tidak mendengkur
seperti biasa.
Kucing atau tikus?
Kalau kucing kenapa tidak ada suara
meong? Kami tidak pernah memelihara kucing, tapi bukan berarti tak pernah ada
kucing di rumah kami. Ada saja kucing keluar masuk rumah kami, bahkan beberapa
kali ada kucing numpang beranak, kucing mati di plafon rumah juga pernah, walau
begitu semua terjadi di luar kuasa kami. Tak ada seorangpun di rumah kami yang
pernah membawa kucing ke dalam rumah. Apalagi
konon kakek sekian puluh tahun lalu pernah memukul seekor kucing yang tiba-tiba
ada di dalam rumah hingga pincang dengan gagang sapu karena menanggapnya teluh.
Entah benar atau tidak katanya teluh sering datang dalam rupa kucing.
Tikus? Bisa saja, walau kami selalu
memasang perangkap tikus dan sering meracuninya, tikus seperti punya semboyan
mati satu tumbuh seribu, apalagi rumah kami memang pantas jadi sarang tikus. Lemari-lemari
tua berisi perabotan tua dan ranjang tua yang kolongnya penuh benda-benda tua
pasti jadi tempat yang damai bagi para tikus. Tapi mungkinkah tikus membanting
benda dan menimbulkan suara sekeras itu?
Krak krak!
Apa lagi itu? Suaranya seperti
berasal dari samping rumah, seperti benda kering yang terinjak. Tanpa komando
badanku hendak kea rah dapur langsung berbalik ke ruang tamu dan benar ada
kelebat lampu senter yang bisa kulihat dari celah-celah daun pintu dan lubang
angin.
“Siapa di situ?” Sepontan suaraku
terlontar ketika secara bersamaan tangan kiriku meraih bukaan pintu dan tangan
kananku memegang erat batang kunci. Beberapa detik tak ada jawaban membuat bulu
kuduk meregang, sampai…
“Dirja !!!”
Kubuka segera pintu depan dan ketika
daun pintu terbuka orang yang bernama Dirja itu sudah berdiri di gang, menembakkan
lampu senternya ke arah berlawanan secara bergantian kemudian melangkah cepat
menuju ke arah jalan besar. Gelap lagi.
Dirja tukang becak sebenarnya bukan
warga sekitar kami, rumahnya jauh di pinggir desa dekat sawah, belakangan saja
sering tidur di sebuah gubuk di belakang rumah kami yang baru dua bulan
ditinggal mati pemiliknya. Kusebut rumah gubuk karena ukurannya hanya tiga kali
lima meter yang empat tahun lalu bangunannya masih dari gedek dan sudah doyong.
Atas biaya desa rumah gedek itu kini sudah terbuat dari batu bata, tapi lantainya tetap tanah. Pemiliknya
seorang janda tua yang lama tinggal sendiri bernama Nyi Rembet yang kata ibuku:
perempuan tidak waras.
Nyi Rembet memang hidup benar-benar
sendiri, menempati rumah seorang diri, siang malam bicara sendiri, marah-marah
pun sendiri di dalam rumahnya sendiri. Hanya kebutuhan hariannya yang tidak
ditanggung sendiri, konon dari pihak desa mencatu beras dan ikan asin –mungkin.
Sepanjang kami bertetangga, tak pernah
kami saling menyapa. Mendengar kata orang bahwa dia gila membuatku hanya berani
sesekali mencuri pandang dari jauh.
Mematung sejenak di depan pintu rumah
aku tak sadar di belakangku pun kini gelap gulita pula. Lilin mati, mungkin
sudah habis sumbunya atau ditiup angin yang menerobos lewat pintu yang terbuka.
Apa yang harus aku lakukan?
------ooo-----
Dengan batang lilin cuma seujung
jempol yang nyalanya mobat-mabit diterjang angin aku menahan nafas dan mengendap-endap
mengawasi ruang dapur yang berantakan.
Rumah kami rumah tua yang dapurnya dipisah oleh ruang tak beratap tempat
menjemur pakaian, jadi angin leluasa bergerak. Mendekat ke pintu belakang
rasanya seperti ada yang aneh, kenapa di luar sana terang benderang? Tanpa ragu kubuka pintu
dapur dan seketika api lilin diterkam angin.
Kaget oleh pemandangan di luar sana,
mataku lurus memandang ke arah cahaya di
gubuk Nyi Rembet. Tak jelas apakah lampu teplok atau boklam lima watt, teras
gubuk itu lumayan jelas di malam gulita. Dari celah-celah jendela dan lobang
angin gubuk itu cahaya terangnya kurasakan mengundang diriku agar datang.
Gubuk itu konon sedang dalam sengketa,
kerabat yang tinggal jauh yang selama ini tak pernah peduli pada Nyi Rembet
tiba-tiba menuntut hak atas tanah dan gubuk itu. Hal ini membuat marah kerabat yang ada di
sekitar sini yang merasa telah berjasa suka rela ikut membangun gubuk itu.
Makanya kini Dirja hampir setiap hari ada di sana, mungkin diminta untuk menakut-nakuti
mereka yang punya ambisi memiliki rumah itu.
Tak terasa melangkah, aku dibuat
kaget betapa antara tubuhku dan jendela gubuk itu hanya tinggal satu tarikan
nafas. Hening. Mataku melihat sekeliling dan tak kudapati makhluk apapun.
Aku mulai berjingkat. Dengan menahan
nafas aku terus mendekat dan kucoba meraih daun jendela yang berwarna hitam
dengan tujuan mengintip gerangan siapa di dalam sana. Dan ketika ujung hidungku hanya berjarak sekira
jari telunjuk, daun jendela itu jatuh menimpaku tanpa sempat kuduga sebelumnya.
“Mau apa kamu ?!!!”
Aku terjengkang dan rasanya seluruh
otot tubuhku menegang diterkam rasa takut yang begitu hebat. Tak bisa berbuat
apa-apa aku terus menatap muka Nyi Rembet yang keriput dengan mata menyala dan
mulut berleleran entah apa berwarna merah tua. Hanya kepalaku rasanya yang bisa
bergerak-gerak sementara makhluk mengerikan itu terus mendesak.
Kucoba membalikkan tubuh sekuat
tenaga dan berusaha merangkak, tapi rasanya rambutku telah diraihnya dan
hah…huh…hah…huh… hanya itu yang keluar dari mulutku. Begitu jelas kurasakan
tangan dingin itu meraih leherku lalu menggoyang-goyangnya dengan keras.
“Bangun! Bangun!”
Dengan nafas memburu kugulingkan
tubuhku. Mataku terbelalak dan kaget melihat ibuku berjongkok di samping
tubuhku yang menggeletak di lantai beralas tikar. Kukenali di ruang tengah aku
berada karena kini terang benderang. Rupanya listrik sudah kembali normal. Jam
berapa sekarang?
Pukul 01: 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar