6.8.20

AMPUN NYI REMBET

Pukul 23:32

 

Entah apa yang sedang terjadi, listrik padam sejak menjelang Isya hingga kini belum juga menyala. Apakah ada kebakaran lagi seperti pada malam lebaran lalu, sebuah bengkel di jalan raya sana entah apa sebabnya terbakar hebat hingga menyisakan abu hitam. Untung masih ada pekarangan, kalau kampung kami sudah seperti kampung di kota-kota mungkin api sudah menerror rumah kami. Atau ada hujan lebat disertai angin kencang yang menumbangkan pohon besar dan memutus kabel listrik? Apa saja mungkin terjadi, yang membuatku kini seperti sedang dikarantina.

 

Memang ada hujan, di sini, sejak sore sebelum Asar tadi, tapi hujan kecil yang putus nyambung tanpa gairah. Sepertiku, tanpa gairah karena baterai ponsel habis dan lilin tinggal setengah batang padahal mata rasanya belum mau menyerah.

 

Ibu sudah dua kali mengigau dan dua kali kubangunkan. Adikku anteng di kamarnya, mungkin juga sudah lelap karena hampir dua jam tak terdengar suara apapun selain detak jarum jam di dinding. Biasanya sampai lewat tengah malam masih terdengar suaranya yang ternyata bukan aku  saja, ibu juga mengaku suka jengkel mendengar anak gadisnya cekikikan tengah malam. Semoga tak pernah ada tetangga yang menyangka suara kuntilanak.

 

Di luar rumah hujan nadanya naik turun. Dua kali bolak-balik keluar rumah kini ada dorongan melihat lagi kegelapan yang misterius itu. Ada harapan seseorang datang atau sekedar lewat agar aku tidak merasa sedang berada di dalam gua, tapi gerimis ternyata membuat tetangga lebih memilih tidur daripada keluar rumah untuk sekedar berdehem.  

 

Di dalam rumah tak ada yang bisa kulakukan selain membolak-balik selembar henpon yang tak bisa menyala. Gulang-guling di tikar yang kugelar di ruang tamu, pindah ke ruang tengah mengamati lilin yang makin gemuk pendek beralas pisin di atas tabung televisi, membuka tutup kaleng biskuit yang isinya tinggal remah-remah, lalu balik badan untuk kembali ke tikar dan gulang-guling. Ngantuk datanglah.

 

Sudah biasa aku terjaga hingga tengah malam di perantauan, tapi tidak seorang diri apalagi tanpa henpon seperti saat ini. Berdiam di rumah sejak pertengahan bulam puasa, dengan onlain aku tak pernah merasa sendiri. Apalagi suasana kampung biasanya tidak sepi. Sering lewat tengah malam masih ada suara sepeda motor dimain-mainkan gasnya di jalan besar sana yang jaraknya limapuluh meteran dari rumahku. Atau  di gang depan rumah segerombol anak baru gede sering bolak-balik juga satu dua mobil menderu  entah milik siapa. Malam ini sunyi senyap dalam gelap.

 

Jarak teras rumahku dengan gang mungkin ada sekitar limabelas meter, hingga sering pada siang hari ibuku yang tua tidak mengenali seseorang yang menyapanya. Apalagi halaman rumahku lumayan rimbun dengan dua pohon mangga dan tiga pohon melinjo di sana. Ada juga pohon papaya setinggi satu setengah meter, tiga rumpun sereh dan satu pohon kemboja yang membuat halaman rumah kami pernah ada yang bilang seperti kuburan. Dan malam ini aku setuju dengan pendapat itu.

 

Tanpa rerimbunan itu pun dengan gelap seperti malam ini dari teras aku tak mampu melihat andai ada orang di pintu halaman rumah. Bahkan jika dua langkah di depanku ada seseorang mengendap ke arahku rasanya tetap tak terlihat. Berdiri di teras rumah dua kali melihat ke arah depan yang tampak cuma warna hitam. Mencoba menajamkan pandangan hasilnya tetap sia-sia. Yang ada justru membayangkan ada dua  orang yang baru dikeluarkan dari penjara membawa senjata tajam tengah bersiap meringkusku..

 

Kira-kira  sudah empat tahunan ibu tak pernah cerita ada tindak kejahatan di desa kami, tapi membaca berita aksi kambuhan mereka yang baru dikeluarkan dari penjara di musim Corona ini jadi waswas juga. Di desa kami pernah ada beberapa orang yang perangainya meresahkan, tapi entah di mana mereka sekarang, lebih dari tiga tahun jarang pulang ke rumah pengetahuanku tentang desakku hanya seputar ibu dan adikku. Mungkin mereka dipenjara dan sekarang sudah dibebaskan.

 

Glondang! Bruakkk!

 

Sialan. Suara apa itu? Kutahan nafas, lalu ketika harus mengeluarkannya kucoba dengan sangat perlahan. Mengira-ngira dari mana asal suara itu, aku menduganya dari arah dapur. Hmmm…

 

Berdiri tegang menghadap lilin yang tetap tenang, kukonsentrasikan pikiranku yang kacau dan kupasang telinga dan tak ada suara lanjutan. Adikku tetap tanpa suara dan ibu tidak mendengkur seperti biasa.

 

Kucing atau tikus?

 

Kalau kucing kenapa tidak ada suara meong? Kami tidak pernah memelihara kucing, tapi bukan berarti tak pernah ada kucing di rumah kami. Ada saja kucing keluar masuk rumah kami, bahkan beberapa kali ada kucing numpang beranak, kucing mati di plafon rumah juga pernah, walau begitu semua terjadi di luar kuasa kami. Tak ada seorangpun di rumah kami yang pernah membawa kucing  ke dalam rumah. Apalagi konon kakek sekian puluh tahun lalu pernah memukul seekor kucing yang tiba-tiba ada di dalam rumah hingga pincang dengan gagang sapu karena menanggapnya teluh. Entah benar atau tidak katanya teluh sering datang dalam rupa kucing.

 

Tikus? Bisa saja, walau kami selalu memasang perangkap tikus dan sering meracuninya, tikus seperti punya semboyan mati satu tumbuh seribu, apalagi rumah kami memang pantas jadi sarang tikus. Lemari-lemari tua berisi perabotan tua dan ranjang tua yang kolongnya penuh benda-benda tua pasti jadi tempat yang damai bagi para tikus. Tapi mungkinkah tikus membanting benda dan menimbulkan suara sekeras itu?

 

Krak krak!

 

Apa lagi itu? Suaranya seperti berasal dari samping rumah, seperti benda kering yang terinjak. Tanpa komando badanku hendak kea rah dapur langsung berbalik ke ruang tamu dan benar ada kelebat lampu senter yang bisa kulihat dari celah-celah daun pintu dan lubang angin.

 

“Siapa di situ?” Sepontan suaraku terlontar ketika secara bersamaan tangan kiriku meraih bukaan pintu dan tangan kananku memegang erat batang kunci. Beberapa detik tak ada jawaban membuat bulu kuduk meregang, sampai…

 

“Dirja !!!”

 

Kubuka segera pintu depan dan ketika daun pintu terbuka orang yang bernama Dirja itu sudah berdiri di gang, menembakkan lampu senternya ke arah berlawanan secara bergantian kemudian melangkah cepat menuju ke arah jalan besar.  Gelap lagi.

 

Dirja tukang becak sebenarnya bukan warga sekitar kami, rumahnya jauh di pinggir desa dekat sawah, belakangan saja sering tidur di sebuah gubuk di belakang rumah kami yang baru dua bulan ditinggal mati pemiliknya. Kusebut rumah gubuk karena ukurannya hanya tiga kali lima meter yang empat tahun lalu bangunannya masih dari gedek dan sudah doyong. Atas biaya desa rumah gedek itu kini sudah terbuat dari batu bata,  tapi lantainya tetap tanah. Pemiliknya seorang janda tua yang lama tinggal sendiri bernama Nyi Rembet yang kata ibuku: perempuan  tidak waras.

 

Nyi Rembet memang hidup benar-benar sendiri, menempati rumah seorang diri, siang malam bicara sendiri, marah-marah pun sendiri di dalam rumahnya sendiri. Hanya kebutuhan hariannya yang tidak ditanggung sendiri, konon dari pihak desa mencatu beras dan ikan asin –mungkin.  Sepanjang kami bertetangga, tak pernah kami saling menyapa. Mendengar kata orang bahwa dia gila membuatku hanya berani sesekali mencuri pandang dari jauh.

 

Mematung sejenak di depan pintu rumah aku tak sadar di belakangku pun kini gelap gulita pula. Lilin mati, mungkin sudah habis sumbunya atau ditiup angin yang menerobos lewat pintu yang terbuka. Apa yang harus aku lakukan?

 

------ooo-----

 

Dengan batang lilin cuma seujung jempol yang nyalanya mobat-mabit diterjang angin aku menahan nafas dan mengendap-endap mengawasi ruang  dapur yang berantakan. Rumah kami rumah tua yang dapurnya dipisah oleh ruang tak beratap tempat menjemur pakaian, jadi angin leluasa bergerak. Mendekat ke pintu belakang rasanya seperti ada yang aneh, kenapa di luar sana  terang benderang? Tanpa ragu kubuka pintu dapur dan seketika api lilin diterkam angin.

 

Kaget oleh pemandangan di luar sana, mataku  lurus memandang ke arah cahaya di gubuk Nyi Rembet. Tak jelas apakah lampu teplok atau boklam lima watt, teras gubuk itu lumayan jelas di malam gulita. Dari celah-celah jendela dan lobang angin gubuk itu cahaya terangnya kurasakan mengundang diriku agar datang.

 

Gubuk itu konon sedang dalam sengketa, kerabat yang tinggal jauh yang selama ini tak pernah peduli pada Nyi Rembet tiba-tiba menuntut hak atas tanah dan gubuk itu.  Hal ini membuat marah kerabat yang ada di sekitar sini yang merasa telah berjasa suka rela ikut membangun gubuk itu. Makanya kini Dirja hampir setiap hari ada di sana, mungkin diminta untuk menakut-nakuti mereka yang punya ambisi memiliki rumah itu.

 

Tak terasa melangkah, aku dibuat kaget betapa antara tubuhku dan jendela gubuk itu hanya tinggal satu tarikan nafas. Hening. Mataku melihat sekeliling dan tak kudapati makhluk apapun.

 

Aku mulai berjingkat. Dengan menahan nafas aku terus mendekat dan kucoba meraih daun jendela yang berwarna hitam dengan tujuan mengintip gerangan siapa di dalam sana. Dan  ketika ujung hidungku hanya berjarak sekira jari telunjuk, daun jendela itu jatuh menimpaku tanpa sempat kuduga sebelumnya.

 

“Mau apa kamu ?!!!”

 

Aku terjengkang dan rasanya seluruh otot tubuhku menegang diterkam rasa takut yang begitu hebat. Tak bisa berbuat apa-apa aku terus menatap muka Nyi Rembet yang keriput dengan mata menyala dan mulut berleleran entah apa berwarna merah tua. Hanya kepalaku rasanya yang bisa bergerak-gerak sementara makhluk mengerikan itu terus mendesak.

 

Kucoba membalikkan tubuh sekuat tenaga dan berusaha merangkak, tapi rasanya rambutku telah diraihnya dan hah…huh…hah…huh… hanya itu yang keluar dari mulutku. Begitu jelas kurasakan tangan dingin itu meraih leherku lalu menggoyang-goyangnya dengan keras.

 

“Bangun! Bangun!”

 

Dengan nafas memburu kugulingkan tubuhku. Mataku terbelalak dan kaget melihat ibuku berjongkok di samping tubuhku yang menggeletak di lantai beralas tikar. Kukenali di ruang tengah aku berada karena kini terang benderang. Rupanya listrik sudah kembali normal. Jam berapa sekarang?

 

Pukul 01: 10

 

 


Tidak ada komentar: