“Wis wayahe… yang susah tambah susah
yang kaya makin gaya!”
“Wayah Corona, Bro!”
“Eh…Benar itu, gegara Corona yang kaya makin
kaya yang miskin kaliren. Duduk sini, Tad. Santuy… bangkunya
ditanggung bebas Corona.”
“Bangkunya bebas Corona, yang punya bangku
bagaimana?”
Panjangnya dua meter, bangku kayu itu membujur
begitu jujur dengan kaki-kakinya pada satu sisi hampir menempel bibir teras
minimarket kelas dunia yang telah lama mewabah di negeri ini dan membuat resah
pemilik toko kecil di desa-desa. Sebuah kaleng biskuit bekas yang penuh uang santuy
duduk di sana dan kini dua orang dengan tampilan kontras mendudukinya bersebelahan dengan jarak satu meter.
“Bukan cuma bebas Corona, katanya di sini
malah anti Corona?”
“Iya, katanya karena di sini banyak bawang
merah, Covid 19-nya langsung bubar begitu masuk ke sini. Tapi sekarang katanya
ada tujuh belas yang positif, padahal kemarin baru satu. Bagaimana ini,Tad?”
“Yang positif saudara Njenengan semua
katanya? Yang baru pulang dari Gowa.”
“Saudara jauh sekarang, Tad. Sudah berlalu
lima belas tahun. Aku ikut jama'ah mereka itu dulu di Jakarta.”
“Sekarang berarti kembali jadi preman?”
“Yang jelas aku orang biasa. Orang bodoh. Malu
sok alim apalagi mau gaya sarungan terus seperti Ente, wong Al Fatihah saja
masih salah.”
“Jadi Njenengan takut sama koloran?”
“Hahaha… Benar enggak sih itu yang di
vidio-vidio, di Cina orang lagi jalan tiba-tiba jatuh kejet-kejet dan
nggak ada yang nulungi? Di Jakarta juga katanya ada sopir taksi lagi
sekarat langsung saja dibungkus plastik. Masih mending kucing mati kalau
begitu...”
Senja itu halaman yang seluas lapangan
badminton itu semakin hiruk-pikuk. Halaman toko swalayan yang pada tembok di
kanan kirinya ada tulisan PARKIR GRATIS itu tak cuma jadi area pakir pengunjung
toko, sudah lama di sana ada gerobak penjual gorengan dan ketoprak yang
biasanya pada malam hari ditambah tukang cilok dan tukang kacang rebus. Dan menjelang
lebaran tahun ini entah bagaimana kesepakatannya, pengunjung minimarket atau
siapapun yang mematikan motornya di sana yang biasanya menikmati keleluasaan
tanpa membayar kini harus menikmati rasa dongkol pada tukang parkir dadakan.
“Sehari dapat berapa juta?”
“Juta dari mana, Tad? Kalau sehari sejuta
cukup seminggu kerja begini lalu diam itikaf nunggu lebaran. Nggak enak hati
sama orang-orang…”
“Lha, itu satu tempolong mau penuh?!”
“Kalau itu bukan urusanku, Tad. Tugasku hanya
menjaga agar tempolong itu tidak kemana-mana. Urusan isi bagian Si
Blotong.”
“Apanya yang mblotong?”
“Tarmudi! Anaknya Kaji Rajum blok Kulon Kali.
Dia bagian keuangan, aku bagian keamanan.”
“O… Sekarang di mana dia?”
“Waktu pilkades kemarin kan muter-muter terus
dia jadi tim sukses, Sekarang muternya keliling Indonesia. Bisnis katanya.”
“Berarti Njenengan nggak takut sama
Corona, dong?”
“Kok begitu ,Tad? O, Tarmudi ya? Sehat wal
afiat dia, kata dia yang kena Corona orang-orang kaya, oramg miskin sakitnya
korengan.”
“Kapan Njenengan diajak bisnis ini sama
dia?”
“Sehari sebelum puasa. Dan sekarang markir
begini sudah jalan lima hari, berarti sudah lebih setengah bulan…”
“Ketemunya di sini?”
“Ketemu di jalan awalnya. Lalu… kemarin kita begadang di Posko Siaga
Covid-19 di rumah Pak Lurah sampai sahur. Dia juga sering bolak-balik balai desa,
jadi pasti sudah lolos tes lah.”
“Banyak temanku di Tangerang dan Jakarta nggak
bisa kemana-mana, katanya ketat di sana. Si Blotong hebat dong?”
“Badannya kecil, tapi katanya dia pernah
nggebuki polisi sampai hampir mati, dan kenalannya ada yang jendral katanya
juga. Dia kan masih kerabat lurahe.”
Seorang gadis cantik yang marah-marah
dan sempat tak mau membayar uang parkir membuat suasana hiruk pikuk menjelang
maghrib itu kian menarik. Wajah-wajah yang memperhatikan adegan itu tak semua
menampakkan ketegangan, banyak pula yang tersenyum bahkan tertawa. Suara
tadarus sore dari pengeras suara masjid dan musholla nyaring bersahut-sahutan.
“Berapa orang yang megang parkiran di sini?”
“Sebenarnya aku yang diberi kuasa, tapi muncul
anak-anak itu. Ya… bagi-bagi rejeki.”
“Punya anak buah lah.”
“Anaknya Carmad. Keponakannya Tarmudi. Kalau
malam biasanya teman-temannya pada ikut nongkrong di sini.”
“Geng-nya Pak Lurah, dong?”
Waktu berbuka puasa semakin dekat. Lalu lalang
sepeda motor dan manusia di jalan desa itu semakin rapat. Wajah orang-orang
yang berdesakan mau membeli gorengan tampak cemas takut tak dapat bagian.
Langit yang berawan menyala jingga.
“Berarti pilihan lurah nanti lurahe nggak bisa nyalon lagi ya, Tad?”
“Kok pindah tipik? Masih lama itu! Baru juga
dilantik”
“Dua periode kan? Atau bisa nggak aturannya
berubah lagi? Ente harusnya maju, menurut Ente kenapa nggak ada yang berani
bersaing sama lurahe?”
“Nggak ada yang punya duit.”
“Kaji Darma, Dasimun pamong kan orang-orang
kaya. Ente juga punya mobil punya sawah, bohong kalau nggak punya duit.”
“Nanti kalau aku nyalon lurah, Njenengan
bagian cari massanya, oke?”
“Ente kan hampir setiap hari ceramah di
jamiahan-jamiahan ibu-ibu, pasti gampang cari massa-nya. Aku malah bisa merusak
citra, ustad kok didukung orang yang nggak jelas.”
“Lebih jelas Njenengan daripada virus
Corona.”
“Corona lagi. Apa benar kalau mati kena Corona
nggak boleh ada yang layad dan nggak di-tahlili, Tad?”
“Mati syahid. Nggak usah takut.”
“Mati syahid berarti langsung masuk surga,
dong? Kalau koruptor kena Corona matinya masuk surga enggak, Tad?”
“Njenengan yang cuma anak buah koruptor
saja kalau mati syahid nggak bakalan mas…”
“Jangan begitu, Tad. O iya, katanya mati
syahid kalau masih punya utang nggak bisa masuk surga ya?”
“Punya utang sama siapa saja Njenengan?”
Lelaki bengkak buncit yang berkulit
hampir hitam itu tiba-tiba berdiri dan dengan menyeret sandal jepitnya
bergegas meninggalkan anak muda yang dipanggilnya ustad itu. Selang beberapa
detik, pantatnya yang belahan bagian atasnya selalu dipamerkan sudah kembali
didudukkan di bangku kayu yang sedari tadi pasrah diduduki berdua.
“Boss, ya?”
“Enggak enak saja, sering ngopi bareng sama
dia masa dicueki. Dia cuma nanya istrinya tadi sempat lewat sini enggak?”
“Tapi hormat banget kelihatannya?”
“Orang kecil, Tad. Kalau petentang-petenteng
didepan pejabat bisa dipersulit kalau punya urusan. Biar dia cuma pamong desa
kan pejabat juga.”
“Takut nggak kebagian beelte Corona ya?”
“Saya sih dikasih syukur nggak dikasih juga
nggak apa-apa. Apa benar setiap orang mau dikasih enam ratus ribu setiap bulan
sama pemerintah selama tiga bulan ya, Tad?”
“Njenengan
yang dekat sama Pak Lurah, kok malah nanya ke aku.”
“Tapi Ente kan yang lebih pinter. Sekolahnya
tinggi pasti lebih pahan. Lagipula kemarin ngobrol di posko dari jam sepuluh
sampai sahur, Pak Lurah nggak ngomong soal bantuan-bantuan.”
“Masa, sih?”
“Di Jakarta katanya sudah banyak yang dapat
sembako, dapat duit, di sini masih sepi-sepi saja?”
“Nanti kalau aku jadi lurah kamu boleh tanya
begitu, kalau sekarang no komeng.”
“Ente dapat masker enggak dari
kelurahan,Tad. Banyak yang sudah punya masker yang ada tulisan MARI LAWAN
CORONA-nya, tapi katanya banyak yang nggak kebagian. Aku baru dikasih kemarin
sama Pak Lurah?”
“Bagi dong! Ada gambar Pak Lurahnya enggak?”
“Bahannya nggak nyaman dipakai. Aku dikasih
dua, satu buat adikku, Narti. Ente pasti punya masker yang harganya mahal di
rumah, nggak pakai masker bukan berarti nggak punya kan?”
“Nggak biasa pakai masker, jadi nggak nyaman.”
“Ente sih hanya takut sama Allah, jadi nggak
takut sama Corona. Kalau aku masih banyak dosa, bagaimana nggak takut mati?”
“Itu masker bikinnya pakai duit parkir ini,
ya?”
“Eh, itu ada Pak Lurah! Aku ke sana dulu, Tad.”
Sekali lagi dengan menyeret sandal jepitnya
dan menarik celana jeans-nya yang selalu melorot si bengkak hitam itu
tergopoh-gopoh menuju seorang lelaki bermasker yang tampak berwibawa di atas
jok sepeda motor matik bongsor berplat nomor putih. Berhenti di bahu
jalan memboncengkan seorang perempuan berjilbab anggun yang juga memakai masker
dengan model tak kalah anggun, dia terlihat semakin gagah.
“Pak Lurah nanya istrinya juga?”
“Itu tadi istrinya yang diboncengan!”
“Siapa tahu nanya istri keduanya?”
“Ssst! Pernah dengar sih, katanya orang Tegal,
tapi nggak urus lah, ngurus perut sendiri saja pusing”
“Makanya jangan ngurus perut kalau nggak ingin
pusing”
“Ente sih enak bisa mondok bisa sekolah
tinggi, ceramah nggak sampai satu jam pulang ngantongi amplop yang isinya
merah. Aku modar-mandir paling banter dapat segelas kopi”
“Jangan mengingkari nikmat, segelas kopi kalau
yang memeberi ikhlas bisa halal di badan."
Dan kini giliran lelaki yang dipanggil ustad
itu yang tiba-tiba sigap berdiri lalu menyeret-nyeret sandal jepitnya tergopoh
meraih stang sepeda motor. Bersamaan dengan itu seorang perempuan anggun
berjilbab dan bermasker tak kalah anggun dari jilbab dan maskernya bu lurah
keluar dari minimarket menenteng kantong-kantong belanjaan yang penuh. Sedetik kemudian sepeda motor itu sudah
menyala, ustad dan perempuan itu pun
sudah duduk nyaman dan dengan senyum manis yang tersembunyi di balik masker, sepeda motor itu pun melaju menuju lock down.J
Brebes, Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar